Rabu, 16 Juli 2014

Audit Lembaga Survei

Audit Lembaga Survei Kamis, 17 Juli 2014 | 05:00 WIB KOMPAS Elemen-elemen audit lembaga survei Berita terkait Ini Peta Perolehan Suara Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla di DKI Jakarta Audit Lembaga Survei Jokowi-Kalla Ungguli Prabowo-Hatta di 3 Kota Kabupaten di Sulawesi Utara Rekapitulasi Lebih dari 10 Jam, Prabowo-Hatta Ungguli Jokowi-JK di Jakarta Timur 2 Oleh: Bambang Setiawan Buntut dari penayangan hasil hitung cepat pada Pemilu Presiden 9 Juli 2014 membuat tuntutan terhadap audit lembaga survei semakin gencar disuarakan. Bagaimana memeriksa kesahihan data lembaga survei menjadi penting untuk dikemukakan kepada publik. Pasca pemilu, sejumlah lembaga survei diragukan kredibilitasnya, bahkan dilaporkan ke polisi. Tindakan ini diawali oleh hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan empat lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hasil itu berbeda dengan hasil delapan lembaga survei yang memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) dilaporkan oleh aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ke polisi karena diduga membohongi publik. Ada dugaan mereka melakukan pengaturan suara sampel TPS yang masuk ke dalam tabulasi hitung cepat sehingga serentak memenangkan Prabowo-Hatta. Indikasi untuk mengarahkan hasil ke salah satu calon cukup kuat, mengingat hasil hitung cepat empat lembaga survei tersebut disiarkan oleh stasiun-stasiun televisi yang dimiliki oleh anggota koalisi pasangan tersebut. Hasil dari Puskaptis, LSN, dan JSI ditayangkan oleh TV One, televisi milik Aburizal Bakrie yang selama ini mendukung pemberitaan Prabowo-Hatta. Sementara itu, hasil hitung cepat dari IRC dilansir di televisi-televisi milik Hary Tanoesoedibjo seperti RCTI, Global TV, dan MNC. Tuntutan untuk mengaudit lembaga survei direspons oleh Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) dengan menggelar pertemuan dengan pers, mengundang anggota-anggotanya untuk memaparkan seluk-beluk hitung cepat yang mereka lakukan. Langkah ini kemudian diikuti dengan audit terhadap lembaga-lembaga survei anggota Persepi. Namun, Puskaptis sebagai salah satu anggota menolak diaudit. Elemen pemeriksaan Audit terhadap lembaga survei terkait hasil hitung cepat pemilu presiden dapat dilakukan mulai dari memeriksa tahap perencanaan hingga penayangan hasil hitung cepat. Pada tahap perencanaan atau proposal, pendanaan dan metode sampling adalah yang paling penting untuk diungkap. Penelusuran terhadap penyandang dana quick count akan membuka tabir pertama pihak yang paling berkepentingan terhadap hasil hitung cepat. Meski demikian, sumber dana tidak selalu menentukan hasil. Jika lembaga survei itu memiliki kredibilitas dan bersikap profesional dalam pekerjaannya, bisa jadi hasilnya akan tetap menggambarkan realitas sesungguhnya. Rekam jejak lembaga survei dapat menjadi petunjuk, apakah hasil yang selama ini dikeluarkan oleh lembaga itu selalu sesuai dengan kepentingan pihak penyandang dana ataukah relatif independen. Berikutnya adalah metode sampling. Yang paling penting di sini adalah apakah model sampling yang akan dipakai bisa menggambarkan populasi secara keseluruhan atau tidak. Apakah penarikan sampelnya dilakukan secara acak atau purposif. Jika purposif, sulit dikatakan hasilnya mewakili populasi. Penting pula dalam kaitan pemilu, apakah jumlah sampelnya proporsional mewakili tiap daerah pemilihan atau hanya sebagian. Jika proporsional, apakah mewakili desa dan kota yang ada di Indonesia ataukah cenderung hanya mengelompok di wilayah tertentu, misalnya hanya di perkotaan. Jika pengambilan sampelnya diarahkan, apakah ada kesengajaan untuk mengambil sampel TPS yang memiliki kecenderungan sebagai kantong suara salah satu kandidat atau tidak. Semua hal tersebut dapat memengaruhi hasil suara yang diperoleh. Selain itu, sejumlah hal teknis dapat berperan memperbesar tingkat kesalahan. Misalnya, kualitas dan jumlah tenaga lapangan, organisasi pelaporan, pemasukan data, dan sistem rancangan output-nya. Kualitas tenaga lapangan yang baik dan jumlah tenaga yang mencukupi sangat menunjang akurasi data. Untuk memperoleh hasil pemilu yang mencakup seluruh Indonesia, jumlah tenaga lapangan dapat menjadi indikator penting apakah survei yang dilakukan akan serius mengikuti kaidah yang ditetapkan dalam metode sampling atau tidak. Apakah masuk akal, misalnya, untuk menangani sampel di 1.000 TPS hanya dikerahkan tenaga lapangan berjumlah 500 orang? Logikanya, jika sebaran sampel TPS merata ke seluruh Indonesia, maka jarak antara satu TPS dan TPS lain akan sangat berjauhan. Sanggupkah seorang tenaga lapangan mengamati dua TPS yang jaraknya ratusan kilometer, terutama TPS-TPS yang terletak di desa dan tempat terpencil? Jika mungkin dilakukan, bagaimana caranya? Jika tidak mungkin dilakukan dalam waktu cepat, besar kemungkinan akan ada manipulasi pada praktik penetapan sampel di lapangan. TPS yang berjauhan akan ditarik berdekatan. Jika pola ini dilakukan pada separuh jumlah TPS, konsekuensinya akan memengaruhi hasil hitung cepat. Mengingat moda transportasi lebih mudah di perkotaan, kemungkinan sampel di daerah terpencil akan diganti ke perkotaan sehingga sesungguhnya hasilnya lebih menggambarkan suara perkotaan. Bukti-bukti forensik sangat diperlukan. TPS yang diambil sebagai sampel sudah sesuai dengan rancangan desain sampel atau melenceng jauh. Ini bisa berupa foto formulir C1 di lapangan, gambar fisik TPS, dan data yang dikirimkan. Jika data dikirimkan lewat SMS, maka rekaman SMS bisa menjadi petunjuk untuk menelusuri kesahihan data dengan membandingkan pada data KPU. Selain itu, bukti-bukti pembayaran kepada tenaga lapangan juga dapat menggambarkan secara riil jumlah orang yang terlibat dalam survei yang dilakukan, dan apakah ada indikasi survei tidak dilakukan semestinya. Berikutnya adalah bukti-bukti forensik bagaimana data masuk ke dalam sistem tabulasi hingga hasil pengolahan. Apakah semua data masuk kemudian ditayangkan, ataukah ada kontrol atau intervensi untuk mengatur data yang masuk. Jika intervensi dilakukan untuk tujuan menghambat laju perolehan kandidat tertentu, maka hasilnya sulit dipercaya kebenarannya. Bagaimana pun, survei hanyalah alat dan sangat tergantung pada tujuan penggunanya. Bisa ditujukan untuk mengawal demokrasi dalam pemilu, bisa juga dijadikan alat legitimasi. (LITBANG KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar